BAB
I
Pendahuluan
A. Latar
Belakang
Lahirnya UU No.22/1999 tentang
otonomi daerah berimplikasi kepada otonomi pendidikan dan otonomi sekolah, maka
jadilah Indonesia menganut konsep manajemen pendidikan berbasis sekolah (school
based management) atau biasa disingkat MBS. Sebelum adanya otonomi daerah ini
pengelolaan pendidikan yang dianut Indonesia sangat bersifat sentralistik,
dimana pusat sangat dominan dalam pengambilan kebijakan dan daerah bersifat
pasif; hanya sebagai penerima dan pelaksana pemerintah pusat.
MBS memberiksn keluasan bagi sekolah untuk
menentukan arah dan kebijakan yang relevan dengan situasi dan kondisi
lingkungannya. MBS juga memberikan peluang yang sangat besar bagi masyarakat
untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah.
Penting bagi guru, calon guru, maupun
pemerhati pendidikan untuk benar-benar memahami konsep MBS ini agar nantinya
bisa menjalankan manajeman pendidikan di sekolah sesuai dengan apa yang
tertuang dalam konsep MBS. Untuk itu dalam makalah ini akan dikupas mengenai
pengertian MBS, alasan mengapa perlu adannya MBS, ciri-ciri MBS, tujuan MBS,
manfaat MBS, faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam MBS, dan model-model MBS.
B. Rumusan
Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan
tersebut, dan agar permasalahan lebih mudah untuk dibahas, maka dalam makalah
ini penulis merumuskan beberapa pokok, seperti:
1. Apa
pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
2.
Mengapa perlu adanya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
3. Apa
saja ciri-ciri Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
4. Apa
saja tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
5. Apa
manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
6.
Faktor-faktor apa yang perlu diperhatikan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
7. Berikan contoh model-model Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) ?
C. Tujuan
Penulisan
Berdasar perumusan masalah diatas, pengetahuan
tentang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) penting untuk diketahui bagi
pendidikan. Secara umum tulisan ini bertujuan untuk:
1.
Mengetahui pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
2.
Mengetahui perlunya ada Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
3.
Mengetahui ciri-ciri Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
4.
Mengetahui tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
5.
Mengetahui manfaat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
6.
Mengetahui faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
7.
Mengetahui contoh model-model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
BAB
II
PEMBAHSAN
A.
Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Secara leksikal, Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis dan sekolah.
Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai
sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas.
Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan
memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut maka MBS dapat
diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang berasaskan pada sekolah itu
sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran..
Istilah manajemen berbasis sekolah
merupakan terjemahan dari “school based management”. Istilah ini pertama kali
muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi
pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. MBS merupakan
paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah
(pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi
diberikan agar sekolah leluasa mengolah sumber daya dan sumber dana dengan
mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap
terhadap kebutuhan setempat. Pelibatan masyarakat dimaksudkan agar mereka lebih
memahami, membantu, dan mengontrol pengelolaan pendidikan. Dalam pada itu,
kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah harus pula dilakukan oleh
sekolah. Pada sistem MBS, sekolah dituntut secara mandiri menggali,
mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan
pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah.
B. Alasan
Mengapa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Pengelolaan pendidikan yang dianut
dan dijalankan di Indonesia selama ini sangat bersifat sentalistik, di mana
pusat sangat dominan dalam pengambilan kebijakan. Sebaliknya, daerah dan
sekolah bersifat pasif, hanya sebagai penerima dan pelaksana perintah pusat.
Pola kerja sentralistik tersebut sering mengakibatkan adanya kesenjangan antara
kebutuhan riil sekolah dengan perintah atau apa yang digariskan oleh pusat.
Beberapa kegiatan pada tahap awal yang ditempuh
dalam pelaksanaan MBS antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut:
a)
Meningkatkan kemampuan personil sekolah dalam pengelolaan sekolah,
termasuk pengelolaan sember daya dan penyusunan program untuk mencapai tujuan
sekolah.
b)
Memberikan wewenang kepada sekolah untuk mengelola sumber daya dan
mengatur rumah tangga sekolah untuk mencapai tujuan sekolah dalam batas-batas
peraturan.
c)
Mendorong partisipasi masyarakat yang lebih besar untuk mendukung
pendidikan di sekolah.
d)
Mendorong pemanfaatan anggaran sekolah sesuai kebutuhan dan kondisi
sekolah dengan memberikan “block grant” yang dimanfaatkan bersama dengan
anggaran dan sumber-sumber lain.
e) Mendorong
adanya transparasi dalam pengelolaan sekolah, mulai dari perencanaan sampai
dengan evaluasi. Dalam hal keuangan dengan membuat RAPBS yang melibatkan kepala
sekolah, guru serta pengurus BP3 dan juga tokoh masyarakat.
f)
Mendorong dan memanfaatkan kemampuan personil sekolah untuk meningkatkan
kretifitas dan kemampuan yang dapat mendukung terjadinya proses belajar
mengajar yang aktif, efektif dan menyenangkan serta terciptanya kondisi sekolah
yang “sayang anak” (child friendly).
g)
Bekerjasama dengan pemerntah untuk mendukung upaya pelaksanaan kegiatan
rintisan MBS di sekolah yang ditunjuk (S. Ballen, dkk, 2000).
Peluang keberhasilan dalam menerapkan MBS di sekolah
pada saat ini cukup besar karena adanya factor pendukung berikut:
a) Tuntutan
kehidupan demokratisasi yang cukup besar dari masyarakat dalam era reformasi
seperti sekarang ini.
b)
Penerapan Undang-undang No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah yang
menekankan pada otonomi pemerintah pada tingkat Kabupaten/Kota.
c) Adanya
komite sekolah yang berfungsi untuk membantu pelaksanaan program JPS pendidikan
di banyak sekolah.
d) Adanya
keinginan pemerintah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap
pendidikan di sekolah dengan meningkatkan tugas.
C.
Ciri-Ciri Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Dalam MBS peran serta masyarakat
sangat penting, tidak seperti masa lalu yang hanya terbatas memobilisasi
sumbangan uang dan sejenisnya. Sekolah sebagai lembaga pendidikan dalam model
MBS memiliki fungsi dan peran yang sangat besar. Masalah keuangan, kegiatan
pembelajaran, sarana prasarana, dan seluruh komponen penunjang pendidikan di
sekolah merupakan tanggung jawab sekolah yang telah “di-result”oleh masyarakat.
Dari paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
ciri-ciri manajemen berbasis sekolah antara lain:
- Ada upaya
meningkatkan peran serta BP3 dan masyarakat untuk mendukung kinerja
sekolah.
- Program sekolah
disusun dan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan proses belajar
mengajar (kurikulum), bahkan kepentingan administratif.
- Menerapkan prinsip
efektifitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya sekolah (anggaran,
personil, dan fasilitas).
- Mampu mengambil
keputusan yang sesuai dengan kebutuhan kemampuan dan kondisi lingkungan
sekolah walau berbeda dari pola umum atau kebiasaan.
- Menjamin
terpeliharanya sekolah yang bertanggungjawab kepada masyarakat, selain
kepada pemerintah atau yayasan.
- Meningkatkan
profesionalisme personil sekolah.
- Meningkatkan
kemandirian sekolah di segala bidang.
- Adanya
keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program sekolah,
pelaksanaan sampai dengan evaluasi (kepala sekolah, guru, BP3, dan tokoh
masyarakat, dan lain-lain)
- Adanya keterbukaan
dalam pengelolaan pendidikan sekolah, baik yang menyangkut program,
anggaran, ketenagaan, prestasi sampai dengan pelaporan.
- Pertanggungjawaban
sekolah dilakukan baik terhadap pemerintah, yayasan, maupun masyarakat (S.
Ballen dkk, 2000)[4]
Karakteristik MBS bisa diketahui antara lain dari
bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses
belajar-mengajar, pengelolaan sumber daya manusia, dan pengelolaan sumber daya
dan administrasi. Lebih lanjut, BPPN dan Bank Dunia (1999), mengutip dari Focus
on School: The Future Organisation of Education Services for Student,
Departement of Education, Australia (1990), mengemukakan ciri-ciri MBS dalam
bagan berikut :[5]
Organisasi Sekolah
Proses Belajar Mengajar
Sumber Daya Manusia
Sumber Daya dan Administrasi
Menyediakan manajemen organisasi kepemimpinan
transformasional dalam mencapai tujuan sekolah
Meningkatkan kualitas belajar siswa
Memberdayakan staf dan menempatkan personel yang
dapat melayani keperluan semua siswa
Mengidentifikasi sumber daya yang diperlukan dan
mengalokasikan sumber daya tersebut sesuai dengan kebutuhan
Menyusun rencana sekolah dan merumuskan kebijakan
untuk sekolahnya sendiri
Mengembangkan kurikulum yang cocok dan tanggap
terhadap kebutuhan siswa dan masyarakat sekolah
Memilih staf yang memiliki wawasan manajemen
berbasis sekolah
Mengelola dana sekolah
Mengelola kegiatan operasional sekolah
Menyelenggarakan pengajaran yang efektif
Menyediakan kegiatan untuk pengembangan profesi pada
semua staf
Menyediakan dukungan administratif
Menjamin adanya komunikasi yang efektif antara
sekolah dan masyarakat terkait (school community)
Menyediakan program pengembangan yang diperlukan
siswa
Menjamin kesejahteraan staf dan siswa
Mengelola dan memelihara gedung dan sarana lainnya
Menjamin akan terpeliharanya sekolah yang
bertanggungjawab (akuntabel) kepada masyarakat dan pemerintah
Program pengembangan yang diperlukan siswa
Kesejahteraan staf dan siswa
Memelihara gedung dan sarana lainnya
D. Tujuan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
MBS merupakan salah satu upaya pemerintah untuk
mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, yang
dinyatakan dalam GBHN. Hal tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dalam
pemgembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik
secara makro, meso maupun mikro.
MBS yang ditandai dengan otonomi sekolah dan
pelibatan masyarakat merupakan respons pemerintah terhadap gejala-gejala yang
muncul di masyarakat, bertujuan utuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan
pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi, antara lain diperoleh melalui
keleluasaan mengelola sumberdaya, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan
birokrasi. Sementara peningkatan mutu dapat diperoleh antara lain melelui
partisipasi orangtua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan
kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya sistem
insentif serta disinsetif. Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui
peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih
berkonsentrasi pada kelompok tertentu. Hal ini dimungkinkan karena pada
sebagian masyarakat tumbuh rasa kepemilikan yang tinggi terhadap sekolah.[6]
E. Manfaat
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
MBS memberikan kebebasan dan
kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan
adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan
pengembangan strategi MBS sesuai dengan kondisi setempat, sekolah dapat lebih
meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada tugas.
Keleluasaan dalam mengelola sumber daya dan dalam menyertakan masyarakat untuk
berpartisipasi, mendorong profesionalisme kepala sekolah, dalam peranannya
sebagai manajer maupun pemimpin sekolah. Dengan diberikannya kesempatan kepada
sekolah untuk menyusun kurikulum, guru didorong untuk berinovasi dengan
melakukan eksperimentasi-eksperimentasi di lingkungan sekolahnya. Dengan
demikian, MBS mendorong profesionalisme guru dan kepala sekolah sebagai
pemimpin pendidikan di sekolah. Melalui penyusunan kurikulum efektif, rasa
tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat dan menjamin layanan
pendidikan sesuai dengan tuntutan pesrta didik dan masyarakat sekolah. Prestasi
peserta didik dapat dimaksimalkan melalui peningkatan partisipasi orangtua,
misalnya orangtua dapat mengawasi langsung proses belajar anaknya.
MBS menekankan keterlibatan maksimal berbagai pihak,
seperti pada sekolah-sekolah swasta, sehingga menjamin partisipasi staf,
orangtua, peserta didik dan masyarakat yang lebih luas dalam perumusan-perumusan keputusan tentang
pendidikan. Kesempatan berpartisipasi tersebut dapat meningkatkan komitmen
mereka terhadap sekolah. Selanjutnya, aspek-aspek tersebut pada akhirnya akan
mendukung efektivitas dalam pencapaian
tujuan sekolah. Adanya kontrol dari masyarakat dan monitoring dari pemerintah ,
pengelolaan sekolah menjadi akuntabel, transparan, egaliter, dan demokratis,
serta menghapuskan monopoli dalam pengelolaan pendidikan. Untuk kepentingan
tersebut diperlukan kesiapan pengelola pada berbagai level untuk melakukan
perannya sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawab.[7]
F.
Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
BPPN bekerjasama dengan Bank Dunia
(1999) telah mengkaji beberapa faktor yang perlu diperhatikan sehubungan dengan
MBS. Fakto-faktor tersebut yaitu :
a. Kewajiban
Sekolah
MBS yang menawarkan keleluasaan
pengelolaan sekolah memiliki potensi yang besar dalam menciptakan kepala
sekolah, guru, dan pengelola sistem pendidikan profesional. Oleh karena itu,
pelaksanaannya perlu disertai seperangkat kewajiban, monitoring dan tuntutan
pertanggungjawaban (akuntabel) yang tinggi. Dengan demikian, sekolah dituntut
mampu menampilkan pengelolaan sumberdaya secara transparan, demokratis, tanpa
monopoli, dan bertanggungjawab baik terhadap masyarakat maupun pemerintah, dalam
rangka meningkatkan kapasitas pelayanan terhadap peserta didik.
b.
Kebijakan dan Prioritas Pemerintah
Pemerintah sebagai penanggung jawab
pendidikan nasional berhak merumuskan kebijakan-kebijakan yang menjadi
prioritas nasional terutama yang berkaitan dengan program peningkatan melek
huruf dan angka (literacy and numeracy), efisiensi, mutu dan pemerataan
pendidikan. Pemerintah juga perlu merumuskan seperangkat pedoman umum tentang
pelaksanaan MBS untuk menjamin bahwa hasil pendidikan (student outcomes)
terevaluasi dengan baik, kebijakan-kebijakan pemerintah dilaksanakan secara
efektif, sekolah dioperasikan dalam kerangka yang disetujui pemerintah, dan
anggaran dibelanjakan sesuai dengan tujuan.
c.
Peranan Orang tua dan Masyarakat
MBS menuntut dukungan tenaga kerja
yang terampil dan berkualitas untuk membangkitkan motivasi kerja yang lebih
produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta mengefisienkan
sistem dan menghilangkan birokrasi yang tumpang tindih yaitu melalui
partisispasi masyarakat, orangtua dan dewan sekolah (school council).
d.
Peranan Profesionalisme dan Manajerial
Kepala sekolah, guru dan tenaga
administrasi harus memiliki pengetahuan yang dalam tentang peserta didik dan
prinsip-prinsip pendidikan untuk menjamin bahwa segala keputusan penting yang
dibuat oleh sekolah, didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan pendidikan.
Kepala sekolah perlu mempelajari kebijakan pemerintahan maupun prioritas
sekolah sendiri. Ia harus :
1)
Memiliki kemampuan untuk berkolaborasi dengan guru dan masyarakat
sekitar sekolah;
2)
Memiliki pemahaman dan wawasan yang luas tentang teori pendidikan dan
pembelajaran;
3)
Memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk menganalisis situasi sekarang
berdasarkan apa yang seharusnya serta mampu memperkirakan kejadian di masa
depan berdasarkan situasi sekarang;
4)
Memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dan
kebutuhan yang berkaitan dengan efektifitas pendidikan di sekolah;
5) Mampu
memanfaatkan berbagai peluang, menjadikan tentangan sebagai peluang, serta
mengkonseptualkan arah baru untuk perubahan.
e.
Pengembangan Profesi
Agar sekolah dapat mengambil manfaat yang ditawarkan
MBS, perlu dikembangkan adanya pusat pengembangan profesi, yang berfungsi
sebagai penyedia jasa pelatiahan bagi tenaga kependidikan untuk MBS.[8]
G.
Model-Model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
1. Model
MBS di Indonesia
Model MBS di Indonesia disebut Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen
yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada
sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat
untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di Indonesia model MBS difokuskan pada peningkatan
mutu, tetapi tidak jelas dalam hal mutu apa. Mutu gurukah, mutu kurikulumkah,
mutu hasil pengajarankah, mutu proses belajar-mengajarkah, mutu penilaiankah,
atau mutu manajemennya? Perspektif mutu ini terlalu luas untuk dicakup semua
dalam model MBS di Indonesia. Pantaslah banyak pelaku pendidikan merasa bingung
akan sasaran MBS di Indonesia karena tidak ada fokus garapan. Hal yang paling
mendasar yang tidak diungkap dalam target mutu yang ingin dicapai dalam model
MBS di Indonesia adalah mutu yang seperti apa? Apa kriterianya, bagaimana cara
mencapainya, kapan harus dicapai, dan bagaimana peran sekolah dalam peningkatan
mutu pendidikan ini?
Dengan tidak ada sasaran dalam peningkatan mutu
model MBS ini serta kepongahan para pejabat pendidikan di pusat maupun di
daerah maka penerapan MBS di Indonesia masih menghadapi ganjalan besar.
Padahal, salah satu dasar pokok terlaksananya reformasi adalah adanya perubahan
struktural secara mendasar dan besar-besaran. Bila tidak maka upaya reformasi
pendidikan melalui MBS itu hanya merupakan proyek pemborosan.
Model MBS di Indonesia tidak berasal dari inisiatif
warga masyarakat, tetapi dari pemerintah. Hal ini bisa dimengerti karena setelah
32 tahun Indonesia berada dalam cengkeraman pemerintah otoriter yang membuat
warganya takut untuk mengeluarkan pendapat dan inisiatif. Oleh karena itu,
pendekatan yang digunakanpun berbeda dengan negara-negara lain yang peran serta
masyarakatnya sudah tinggi. Di Indonesia, penerapan MBS diawali dengan
dikelurkannya UU No.25 tahun 2000 tentang Rencana Strategis Pembangunan
Nasional tahun 2000-2004.[9]
2. Model
MBS di Amerika Serikat
Penerapan MBS secara serius di Amerika Serikat
terjadi pada saat adanya gelombang reformasi pendidikan tahap kedua, yaitu pada
tahun 1980-an. Gelombang kedua ini sebagai kebangkitan kembali akan adanya
kesadaram dan pentingnya pengelolaan pendidikan pada tingkat sekolah. Era itu
merup-akan kelanjutan reformasi yang terjadi pada tahun 1970-an pada saat
sekolah-sekolah di distrik menerapkan Side-Based Management.
Gelombang pertama ditandai dengan adanya
sentralisasi fungsi-fungsi pendidikan pada tingkat pusat, mencakup kurkulum dan
ujian nasional. Gelombang kedua terjadi karena adanya laporan dari The National
Commision on Excellentce in Educatin (1983) yang selanjtnya dilakukan
pengurangan keterlibatan pemerintah pusat dan pemerintah federal.
Sistem pendidikan di Amarika Serikat, mula-mula
secara konstitusional pemerintah pusat (state) bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan pendidikan dan pemerintahan daerah (distric) hanya sebagai unit
pembuatan kebijakan dan administrasi. Pemerintah federal memiliki peran yang
terbatas bahkan semakin berkurang perannya. Perannya hanya dibatasi terutama
pada area khusus, yaitu dukungan pendapatan.[10]
BAB III
SIMPULAN
·
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “school
based management”. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika
masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dan
perkembangan masyarakat setempat. MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang
memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam
kerangka kebijakan pendidikan nasional.
· Model MBS di Indonesia tidak berasal dari
inisiatif warga masyarakat, tetapi dari pemerintah. Hal ini bisa dimengerti
karena setelah 32 tahun Indonesia berada dalam cengkeraman pemerintah otoriter
yang membuat warganya takut untuk mengeluarkan pendapat dan inisiatif. Oleh
karena itu, pendekatan yang digunakanpun berbeda dengan negara-negara lain yang
peran serta masyarakatnya sudah tinggi. Di Indonesia, penerapan MBS diawali
dengan dikelurkannya UU No.25 tahun 2000 tentang Rencana Strategis Pembangunan
Nasional tahun 2000-2004.
·
Dalam pelaksanaannya di Indonesia, perlu ditekankan bahwa kita tidak
harus meniru secara persis model-model MBS dari negara lain. Sebaliknya
Indonesia akan belajar banyak dari pengalaman-pengalaman pelaksanaan MBS di negara
lain, kemudian memodifikasi, merumuskan dan menyusun model dengan
mempertimbangkan berbagai kondisi setempat seperti sejarah, geografi, struktur
masyarakat, dan pengalaman-pengalaman pribadi di bidang pengelolaan pendidikan
yang telah dan sedang berlangsung selama ini
DAFTAR PUSTAKA
Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model,
dan Aplikasi Jakarta: Grasindo, 2006.
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: PT
Remaja Rosda Karya, 2002.
Supriono, Sapari A, Manajemen Berbasis Sekolah, Jawa
Timur: SIC, 2001.
[1] Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori,
Model, dan Aplikasi (Jakarta: Grasindo, 2006), hal. 1.
[2]E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung:
PT Remaja Rosda Karya, 2002), hal. 24.
[3] Supriono, Sapari A, Manajemen Berbasis Sekolah,
(Jawa Timur: SIC, 2001), hal. 6.
[4] Ibid., hal.7.
[5]E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung:
PT Remaja Rosda Karya, 2002), hal. 30.
[6]Ibid., hal.25.
[7]Ibid., hal.25.
[8]Ibid., hal.26.
[9] Nurkolis, Manajemen Berbasis Sekolah, Teori,
Model, dan Aplikasi, (Jakarta: Grasindo, 2006), hal. 109.
[10] Ibid., hal.91.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sistem manajemen pendidikan yang sentralistis tidak
membawa kemajuan yang berarti bagi peningkatan kualitas pendidikan pada
umumnya. Dalam kasus-kasus tertentu, manajemen sentralistis telah menyebabkan
terjadinya pemandulan kreativitas pada satuan pendidikan dan berbagai jenis dan
jenjang pendidikan. Untuk mengatasi terjadinya stagnasi dibidang pendidikan ini
diperlukan adanya paradigma baru dibidang pendidikan.
Seiring bergulirnya era otonomi daerah, terbukalah
peluang untuk melakukan reorientasi paradigma pendidikan menuju kearah
desentralisasi pengelolaan pendidikan. Peluang tersebut semakin tampak nyata
setelah dikelurkanya kebijakan mengenai otonomi pendidikan melalui strategi
pemberlakuan manajemen berbasis sekolah (MBS). MBS bukan sekedar mengubah
pendekatan pengelolaan sekolah dari yang sentralistis ke desentralistis, tetapi
lebih dari itu melalui MBS maka akan muncul kemandirian sekolah.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
latar belakang manajemen berbasis sekolah?
2.
Bagaimanakah konsep manajemen berbasis sekolah?
3.
Bagaimanakah Karakteristik MBS?
4. Apa
sajakah urusan-urusan yang menjadi kewenangan tanggung jawab sekolah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. LATAR
BELAKANG MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Dalam era otonomi daerah, pendidikan perlu dikelola
dengan memperhatikan kepentingan sekolah itu sendiri untuk berkembang secara
optimal dan mandiri. Oleh karena itu, MBS merupakan pilihan yang tepat untuk
dilakukan oleh pemerintah daerah.
Definisi komprehensif mengenai MBS yang dikemukakan
oleh Malen sebagaimana dikutip Ibtisam Abu Duhou adalah suatu perubahan formal
struktur penyelenggaraan, sebagai suatu bentuk desentralisasi yang
mengidentifikasikan sekolah itu sendiri sebagai unit utama peningkatan serta
bertumpu pada redistribusi kewenangan pembuatan keputusan sebagai sarana
penting yang dengannya pendidikan dapat didorong dan ditopang.[1]
Selanjutnya, Candoli mendefinisikan MBS, sebagai
suatu cara untuk memaksa sekolah itu sendiri mengambil tanggung jawab atas apa
saja yang terjadi pada anak menurut jurisdiksinya dan mengikuti sekolahnya.[2]
Konsep ini menegaskan bahwa ketika sekolah itu sendiri dibebani dengan pengembangan
total program kependidikan yang bertujuan melayani kebutuhan anak dalam
mengikuti sekolah, personil sekolah akan mengembangkan program yang lebih
meyakinkan karena mereka mengetahui kebutuhan belajar siswa.
Definisi tentang MBS menegaskan bahwa konsep tersebut
mengacu pada manajemen sumber daya di tingkat sekolah dan bukan di suatu sistem
atau tingkat yang sentralistik. Melalui MBS, sekolah diberi pengawasan lebih
besar atas arah yang akan dicapai oleh organisasi sekolah tersebut. Pengawasan
atas anggaran dianggap merupakan inti dari MBS.
Terkait erat dengan kebijaksanaan anggaran adalah
pengawasan atas penetapan peran, penggajian, dan pengembangan staf. Pada
ekstrim lainnya, beberapa sekolah diberi pengawasan atas kurikulum sebagai
bagian dari MBS. Di sini suatu kurikulum berbasis sekolah berarti bahwa
masing-masing sekolah memutuskan bahan-bahan ajar apa akan digunakan, dan juga
model pelaksanaan spesifik. Para staf menentukan beberapa kebutuhan
pengembangan profesional mereka sendiri, serta beberapa struktur di mana proses
pendidikan akan dikembangkan.[3]
MBS ditawarkan sebagai salah satu alternatif jawaban
pemberian otonomi daerah di bidang pendidikan, mengingat prinsip dan
kecenderungannya yang mengembalikan pengelolaan manajemen sekolah pada pihak-pihak
yang dianggap paling mengetahui kebutuhan riel sekolah.
Oleh karena itu, jika kita semua sedang gencar
berbicara tentang reformasi pendidikan, maka dalam konteks MBS, tema sentral
yang diangkat adalah isu desentralisasi. Desentralisasi dalam pengertian
sebagai pengalihan tanggung jawab pemerintahan pusat dalam hal perencanaan,
manajemen, penggalian dana, dan alokasi sumberdaya ke pemerintah daerah.
Terkait dengan desentralisasi, MBS dikembangkan
untuk membangun sekolah yang efektif. Hanya saja konsep desentralisasi model
MBS mengacu pada sekolah swa-manajemen (self managing school) bukan pada
penyelenggara sekolah mandiri (self governing school).[4]
Respon yang muncul atas MBS bermacam-macam.
Depdiknas merumuskan pengertian MBS sebagai model manajemen yang memberikan
otonomi yang lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan
partisipatif yang melibatkan secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala
sekolah, karyawan, orang tua, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
Dengan otonomi yang lebih besar, sekolah memiliki
kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih
mandiri.[5] Maksud yang sama dikemukakan oleh Miarso yang menyatakan bahwa arti
pengelolaan berbasis sekolah ini adalah pelimpahan wewenang pada lapis sekolah
untuk mengambil keputusan mengenai alokasi dan pemanfaatan sumber-sumber
berdasarkan aturan akuntabilitas yang berkaitan dengan sumber tersebut.[6]
Asumsi kebijakan manajemen berbasis sekolah adalah
bahwa dengan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab yang meningkat ke
sekolah, serta proporsi dana lebih besar dalam mendukung pencapaian tujuan
kebijakan sesuai dengan serangkaian garis pedoman kebijakan yang lebih
eksplisit dan meletakkan strategi manajemen prestasi yang terartikulasi di atas
perencanaan tersebut, maka hal tersebut akan memudahkan dan mendorong
peningkatan efektivitas dan efisiensi pendidikan publik.[7]
Hal ini berarti bahwa tugas manajemen sekolah
ditentukan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan sekolah itu sendiri. Oleh
karena itu, anggota pengelola sekolah (dewan direktur, pengawas, kepala
sekolah, guru, orang tua, siswa dan seterusnya) memiliki otonomi dan tanggung
jawab lebih besar dalam mengelola kegiatan pendidikan di sekolah.
Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efesiensi, mutu
dan pemeratan pendidikan. Peningkatan efesiensi diperoleh melalui keleluasaan
mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat dan penyederhanaan
birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan
pengelolaan sekolah, peningkatan propesionalisme guru, adanya hadiah dan
hukuman sebagai control, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan suasana
yang kondusif.
Latar belakang munculnya Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) tak lepas dari kinerja pendididkan di suatu Negara berdasarkan system
pendidikan yang ada sebelumnya. Diantara tahun 1960-an hingga 1970-an berbagai
inovasi dilakukan melalui pengenalan kurikulum baru dan pendekatan metode
pengajaran baru dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, namun hasilnya
tidak memuaskan. Demikian juga di banyak Negara lain seperti Kanada, Amerika,
Australia, Inggris, Perancis, Selandia Baru, dan Indonesia.
Sebelum berbagai inovasi yang diterapkan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan difokuskan pada lingkup kelas, seperti
perbaikan kurikulum, profesionalisme guru, metode pengajaran, dan system
evaluasi, dan kesemuanya itu kurang memberikan hasil yang memuaskan. Bersamaan
dengan berbagai upaya itu, pada tehun 1980-an terjadi perkembangan yang
menggembirakan di bidang manajemen modern, yaitu atas keberhasilan penerapannya
di bidang industry dan organisasi komersial. Keberhasilan aplikasi manajemen
modern itulah yang kemudian diadopsi untuk diterapkan di dunia pendidikan. Sejak
saat itulah masyarakat mulai sadar bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan
perlu melompat atau keluar dari lingkup pengajaran di dalam kelas secara sempit
ke lingkup organisasi sekolah. Oleh karena itu, diperlukan reformasi system
secara structural dan gaya manajemen sekolah.
Setelah adanya kesadaran itu muncullah berbagai
gerakan reformasi seperti gerakan sekolah efektif yang mencari dan
mempromosikan karakteristik sekolah-sekolah efektif. Ada gerakan sekolah
mandiri, yang menekankan otonomi penggunaan sumber dana sekolah. Ada yang
memfokuskan pada desentralisasi otoritas dari kantor pendidikan pusat kepada
aktivitas-aktivitas yang dipusatkan disekolah seperti pengembangan kurikulum
berbasis sekolah, bimbingan siswa berbasis sekolah, dan sebagainya. Gerakan
reformasi yang menggunakan pendekatan berbeda-beda tersebut kemudian melahirkan
model-model MBS.
Di Indonesia, latar belakang munculnya MBS tidak
jauh berbeda dengan Negara-negara maju yang terlebih dahulu menerapkannya.
Perbedaan yang mencolok ialah lambatnya kesadaran para pengambil kebijakan
pendidikan di Indonesia. Bayangkan saja di banyak Negara gerakan reformasi
pendidikan model MBS ini sudah terjadi pada tahun 1970-an dan disusul banyak
Negara pada tahun 1980-an, namun di Indonesia baru dimulai 30 tahun kemudian.
Hal ini tidak terlepas dari system otoriter selama orde baru. Semua diatur dari
pusat, yaitu di Jakarta baik dalam penentuan kurikulum sekolah, anggaran
pendidikan, pengangkatan guru, metode pembelajaran, buku pelajaran, alat peraga
hingga jam sekolah maupun jenis upacara yang harus dilaksanakan di sekolah.
Selama bertahun-tahun upaya perbaikan pendidikan
selalu dilaksanakan dengan cara tambal sulam, karena belum ada upaya yang
maksimal dari birokrat pendidikan di atas sana. Dengan demikian, dapat
dirumuskan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) muncul karena beberapa
alasan. Pertama, terjadinya ketimpangan kekuasaan dan kewenangan yang terlalu
terpusat pada atasan yang mengesampingkan bawahan. Kedua, kinerja pendidikan
yang tidak kunjung membaik bahkan cenderung menurun di banyak Negara. Ketiga,
adanya kesadaran para birokrat dan desakan dari para pecinta pendidikan untuk
merestrukturisasi pengelolaan pendidikan.
Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya
untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang mana selama ini masih dirasa masih
kurang, diantaranya dengan membuat program progaram antara lain “aku anak
sekolah” dan dana bantuan operasional. Program tersebut diharapkan mampu
menjunjung kualitas maupun kuantitas pendidikan di Indonesia, akantetapi karena
pengelolaannya masih terpusat dan kaku, program tersebut tidak dapat memberikan
dampak positif. Dugaannya adalah masalah manajemen yang belum sesuai. Hingga
munculah suatu pemikiran atau gagasan baru dalam pengelolaan pendidikan yang
memberi kebijakan kepada masing masing sekolah untuk mengatur dan melaksanakan
berbagai kebijakan dari pemerintah. Pemikiran inilah yang disebut dengan
manajemen berbasis sekolah (MBS).
BPPN dan Bank Dunia (1999) dalam Mulyasa, memberi
pengertian bahwa MBS merupakan bentuk alternatif sekolah dalam program
desentralisasi di bidang pendidikan, yang ditandai oleh otonomi luas di tingkat
sekolah, partisipasi masyarakat, dan dalam kerangka kebijakan nasional.
Sedangkan Depdikbud dalam , mengemukakan MBS adalah suatu penawaran bagi
sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan lebih memadai bagi
para peserta didik. Mulyasa (2002) mengemukakan Manajemen Berbasis Sekolah
adalah pradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah
(pelibatan masyarakat) dalam rangka kebijakan pendidikan nasional.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah kebijakan pemerintah yang
diberikan masing-masing sekolah untuk mengelola dan mengoptimalkan pendidikan
di daerahnya sesuai dengan karakteristik di daerahnya masing-masing dan
keikutsertaan masyarakat dalam mewujudkan tujuan pendidikan.[8]
B.
KONSEP MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAHn melibatkan semua pemangku
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya
adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mendiri oleh sekolah
dengan semua pemangku kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung
dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu
sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan.
C.
KARAKTERISTIK MBS
Apabila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan
pada tingkat sekolah, maka MBS menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif
dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dimana sekolah itu berada. Ciri-ciri
(karakteristik) MBS bisa dilihat dari sudut sejauh mana sekolah tersebut dapat
mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, pengelolaan sumber daya manusia
(SDM), proses belajar-mengajar dan sumber daya sebagaimana digambarkan dalam
tabel berikut:
Organisasi Sekolah
Proses Belajar-Mengajar
Sumber Daya Manusia
Sumber Daya dan Administrasi
·
Menediakan Manajemen/organisasi kepemimpinan transformasional dalam
mencapai tujuan sekolah
·
Meningkatkan kualitas belajar siswa
·
Memberdayakan staf dan menempatkan
personel yang dapat melayani keperluan siswa
·
Mengidentifikasi sumber daya yang diperlukan dan mengalokasikan sumber
daya tersebut, sesuai dengan kebutuhan.
D. URUSAN-URUSAN YANG MENJADI KEWENANGAN TANGGUNG
JAWAB SEKOLAH
Secara umum, pergeseran dimensi-dimensi
pendidikan dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah
telah diuraikan pada Butir A. Secara lebih spesifik, pertanyaannya adalah:
“Urusan-urusan apa sajakah yang perlu menjadi kewenangan dan tanggungjawab
sekolah”? Pada dasarnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun
2007 tentang Pembagian Urutan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah kabupaten/Kota harus digunakan sebagai
acuan dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, desentralisasi
urusan-urusan pendidikan harus dalam koridor peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Perlu dicatat bahwa desentralisasi bukan berarti semua urusan di
limpahkan ke sekolah. Artinya, tidak semua urusan di desentralisasikan
sepenuhnya ke sekolah, sebagian urusan masih merupakan kewenangan dan
tanggungjawab Pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan
sebagian urusan lainnya diserahkan ke sekolah. Berikut adalah urusan-urusan pendidikan
yang sebagian menjadi kewenangan dan tanggungjawab sekolah, yaitu:
proses belajar mengajar,
perencanaan dan evaluasi program sekolah,
pengelolaan kurikulum,
pengelolaan ketenagaan,
pengelolaan peralatan dan perlengkapan,
pengelolaan keuangan,
pelayanan siswa,
hubungan sekolah-masyarakat, dan
pengelolaan kultur sekolah.
a. Pengelolaan Proses Belajar Mengajar
Proses belajar mengajar merupakan kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi
kebebasan memilih strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan
pengajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran,
karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumberdaya yang
tersedia di sekolah. Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran dan
pengajaran yang dipilih harus pro-perubahan yaitu yang mampu menumbuhkan dan
mengembangkan daya kreasi, inovasi dan eksperimentasi peserta didik untuk
menemukan kemungkinan-kemungkinan baru. Pembelajaran dan pengajaran
kontekstual, pembelajaran kuantum, pembelajaran kooperatif, adalah
contoh-contoh yang dimaksud dengan pembelajaran yang pro-perubahan.
b. Perencanaan dan Evaluasi
Sekolah diberi kewenangan untuk menyusun rencana pengembangan sekolah
(RPS) atau school-based plan sesuai dengan kebutuhannya. Kebutuhan yang
dimaksud, misalnya, kebutuhan untuk meningkatkan pemerataan, mutu, relevansi,
dan efisiensi sekolah. Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis
kebutuhan pemerataan, mutu, relevansi dan efisiensi sekolah. Berdasarkan hasil
analisis kebutuhan tersebut, kemudian sekolah membuat rencana peningkatan
pemerataan, mutu, relevansi dan efisiensi sekolah.
Untuk itu, sekolah harus melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang
dilakukan secara internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk
memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil program-program yang
telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi
diri harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat mengungkap informasi
yang sebenarnya.
c. Pengelolaan Kurikulum
Saat ini telah terjadi desentralisasi sebagian pengelolaan kurikulum
dari pemerintah pusat ke sekolah melalui Permendiknas 22/2006, 23/2006, dan
24/2006. Pengelolaan kurikulum yang dimaksud dinamakan kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP). Pemerintah Pusat hanya menetapkan standar dan sekolah
diharapkan mengoperasionalkan standar yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Padahal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Dalam kondisi seperti ini,
sekolah dipersilakan memilih cara-cara yang paling sesuai dengan kondisi
masing-masing. Sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya,
memperkuat, memperluas, mendiversifikasi) kurikulum, namun tidak boleh
mengurangi standar isi yang telah tertuang dalam Permendiknas 22/2006.
Selanjutnya sekolah berhak mengembangkan KTSP ke dalam silabus, materi pokok
pembelajaran, proses pembelajaran, indikator kunci kinerja, sistem penilaian,
dan rencana pelaksanaan pembelajaran.
Sekolah dibolehkan memperkaya mata pelajaran yang diajarkan, artinya,
apa yang diajarkan boleh diperluas dari yang harus, yang seharusnya, dan yang
dapat diajarkan. Demikian juga, sekolah dibolehkan mendiversifikasi kurikulum,
artinya, apa yang diajarkan boleh dikembangkan agar lebih kontekstual dan
selaras dengan karakteristik peserta didik. Selain itu, sekolah juga diberi
kebebasan untuk mengembangkan muatan local dan pengembangan diri.
d. Pengelolaan Ketenagaan (Pendidik dan Tenaga
Kependidikan)
Pengelolaan ketenagaan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan,
rekrutmen, pengembangan, hadiah dan sangsi (reward and punishment), hubungan
kerja, sampai evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi,
laboran, dan sebagainya.) dapat dilakukan oleh sekolah, kecuali yang menyangkut
pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen guru pegawai negeri, yang sampai saat ini
masih ditangani oleh birokrasi di atasnya.
e. Pengelolaan Fasilitas (Peralatan dan
Perlengkapan)
Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai
dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga pengembangan. Hal ini
didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan
fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya, terutama
fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar
mengajar.
f. Pengeloaan Keuanagan
Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah
sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa
sekolahlah yang paling memahami kebutuhannya, sehingga desentralisasi
pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah
juga harus diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang
mendatangkan penghasilan” (income generating activities), sehingga sumber
keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.
g. Pelayanan Siswa
Pelayanan siswa, mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan/
pembinaan/pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk
memasuki dunia kerja, hingga sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari
dahulu memang sudah didesentralisasikan. Karena itu, yang diperlukan adalah
peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.
h. Hubungan Sekolah-Masyarakat
Esensi hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk meningkatkan
keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama
dukungan moral dan finansial. Dalam arti yang sebenarnya, hubungan
sekolah-masyarakat dari dahulu sudah didesentralisasikan. Oleh karena itu, sekali
lagi, yang dibutuhkan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan
sekolah-masyarakat.
i. Pengelolaan Kultur Sekolah
Kultur sekolah (pisik dan nir-pisik) yang kondusif-akademik merupakan
prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang aktif, kreatif,
inovatif, efektif, dan menyenangkan. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib,
optimisme dan harapan/ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan
sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered
activities) adalah contoh-contoh kultur sekolah yang dapat menumbuhkan semangat
belajar siswa. Kultur sekolah sudah merupakan kewenangan dan tanggungjawab
sekolah sehingga yang diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan
ekstentif.